Buya Hamka dan
novel “Tenggelamnya kapal Vander Wijck”
ADA CERITA menarik dari Kutaraja
(kini Banda Aceh). Setiap Rabu malam, orang-orang berkerumun di stasiun kereta
menunggu kiriman majalah Pedoman Masjarakat yang terbit di Medan. Mereka bukan
hanya agen penjual majalah itu, tapi juga ratusan pembaca yang tidak sabar
ingin membaca kelanjutan kisah “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” yang dimuat
di majalah itu secara bersambung pada 1938.1] Penulis cerita bersambung itu
ialah Hamka, nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang juga
pengasuh dan pendiri majalah mingguan Pedoman Masjarakat.
Hamka menuturkan bahwa ia mendapat banyak surat dari
pembaca—atau tepatnya, penggemar—cerita Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.
Sebagian surat itu berisi pengungkapan kesan mereka setelah membaca kisah cinta
tragis antara Zainuddin dan Hayati yang dikungkung adat dalam Tenggelamnya
Kapal Van der Wijck. “Seakan-akan Tuan menceritakan nasibku sendiri,” tulis
seorang pemuda dalam suratnya.2]
Berdasarkan masukan dari berbagai pihak, cerita
bersambung itu akhirnya diterbitkan dalam bentuk novel dengan judul yang sama
pada 1939. Hamka menulis novel itu berdasarkan kisah nyata tentang kapal Van
Der Wijck yang berlayar dari pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, menuju Tanjung
Priok, Jakarta, dan tenggelam di Laut Jawa, timur laut Semarang, pada 21
Oktober 1936. Peristiwa itu kemudian diabadikan dalam sebuah monumen bersejarah
bernama Monumen Van Der Wijck yang dibangun pada tahun 1936 di Desa Brondong,
Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, sebagai tanda terima kasih masyarakat
Belanda kepada para nelayan yang telah banyak membantu saat kapal itu
tenggelam. Dan Hamka mengabadikannya dalam sebuah novel.
Walaupun peristiwa tenggelamnya
kapal Van Der Wijck itu benar-benar terjadi, kisah yang ditulis Hamka dalam
novel itu tentu saja fiksi belaka. Sebagaimana umumnya karya sastra yang baik
dibangun di atas serpihan kejadian nyata, Hamka pun mengolah tragedi yang
memilukan itu dalam kisah fiksi yang diberi badan peristiwa konkret dengan plot
yang apik sehingga imajinasi pembacanya memiliki pijakan di dunia faktual.
Karakter utamanya (Zainuddin, Hayati, dan Aziz) seolah pribadi-pribadi yang
benar-benar hidup dan mewakili potret kaum muda pada masa itu ketika mereka
berhadapan dengan arus perubahan sementara kakinya berpijak pada adat dan
tradisi.
Kepiawaian Hamka dalam menyampaikan kritiknya atas
tradisi boleh jadi melanjutkan kesuksesan pendahulunya Marah Rusli dalam roman
Siti Nurbaya yang melegenda itu. Keduanya juga sama-sama berkisah tentang adat
dan kawin paksa. Dan keduanya berujung kematian tokoh-tokoh utamanya. Bedanya,
Siti Nurbaya menimbulkan dampak yang sangat kuat dan melintasi zaman karena ide
ceritanya itu sendiri, sementara Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck melahirkan
guncangan keras karena kontroversi yang menyertai ide cerita. Siti Nurbaya
adalah kisah cinta di atas panggung tradisi. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
juga kisah cinta yang sama namun sekaligus kisah tentang kesusastraan di pentas
pertarungan politik. Belum pernah ada perdebatan yang begitu keras tentang
sebuah novel melebihi karya Hamka ini. Novel ini dituduh sebagai plagiat dari
novel Majdulin karya Mustofa Lutfi al Manfaluti (sastrawan Mesir), yang
merupakan saduran dari novel Sous les Tilleuls (‘Di Bawah Pohon Tilia’) karya
Alphonse Karr (sastrawan Prancis).3]
Sebagaimana novel Siti Nurbaya, novel Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck juga berkisah tentang cinta yang tak sampai. Tokoh utamanya,
Zainuddin, adalah anak dari Pendekar Sutan yang diasingkan ke Cilacap karena
membunuh mamaknya dalam sebuah perselisihan harta warisan. Setelah bebas ia
pergi ke Makassar dan di kota ini menikah dengan Daeng Habibah. Dari pernikahan
inilah lahir Zainuddin. Setelah orangtuanya meninggal, Zainuddin pergi ke
Batipuh, Padang Panjang, yang merupakan kampung halaman ayahnya. Sayangnya, di
sana ia tidak diperlakukan dengan baik karena dianggap bukan anak Minang.
Maklum walaupun ayahnya seorang Minang, ibunya orang Bugis sehingga putuslah
pertalian darah menurut garis matrilinear yang bernasabkan kepada ibu.
Sungguhpun begitu Zainuddin menjalin cinta dengan
Hayati, gadis Minang yang prihatin terhadap nasibnya dan sering mencurahkan
kesedihan hatinya kepada Hayati. Sebagai gadis keturunan bangsawan, tentu saja
keluarga Hayati mencegahnya berhubungan dengan Zainuddin yang bukan orang
Minang dan tidak jelas pula masa depannya. Keluarga Hayati memilih Aziz yang
asli Minang dan berasal dari keluarga terpandang. Hayati harus tunduk pada
kesepakatan keluarga, walaupun hatinya condong pada Zainuddin.
Zainuddin menganggap Hayati telah berkhianat. Akhirnya
dengan membawa perasaan luka ia pergi ke Jakarta, kemudian pindah ke Surabaya.
Sementara itu Hayati dan Aziz yang telah menikah juga pergi ke Surabaya dan
tinggal di sini karena alasan pekerjaan. Tanpa sengaja, dalam suatu acara
keduanya bertemu dengan Zainuddin yang telah menjadi orang sukses. Sedangkan
kehidupan ekonomi Aziz dan Hayati semakin lama semakin memburuk. Aziz jatuh
miskin sampai-sampai ia dan istrinya harus menumpang di rumah Zainuddin. Tak
tahan menahan penderitaan, Aziz akhirnya bunuh diri dan sebelumnya meninggalkan
pesan agar Zainuddin menjaga Hayati.
Zainuddin yang pernah dikhianati merasa sulit untuk
menerima kembali Hayati. Perasaan cinta yang masih menyala dicoba untuk
dipadamkan. Bahkan ia meminta Hayati untuk kembali ke kampung halaman di
Batipuh, walaupun wanita itu merajuknya: “Tidak Hayati ! kau mesti pulang
kembali ke Padang! Biarkan saya dalam keadaan begini. Pulanglah ke Minangkabau!
Janganlah hendak ditumpang hidup saya , orang tak tentu asal ….Negeri
Minangkabau beradat !…..Besok hari senin, ada Kapal berangkat dari Surabaya ke
Tanjung Periuk, akan terus ke Padang! Kau boleh menumpang dengan kapal itu, ke
kampungmu”. (hal. 198)
Hayati pun pulang dengan menumpang kapal Van Der
Wijck. Namun nasib malang menimpanya. Kapal yang ditumpanginya tenggelam di
Laut Jawa. Zainuddin yang mendengar berita itu langsung menuju rumah sakit di
Tuban. Sayang nyawa Hayati tidak dapat diselamatkan. Sejak peristiwa itu
Zainuddin sering mengalami sakit sampai akhirnya meninggal dan dimakamkan di
samping pusara Hayati.
Ujung cerita tragis tampaknya menjadi pilihan untuk
menyampaikan pesan bahwa cinta yang merupakan pangkal kebahagiaan seseorang
sering dikorbankan demi martabat keluarga atau keturunan. Novel ini ditulis
sebagai kritik terhadap beberapa tradisi dalam adat Minang saat itu yang tidak
sesuai dengan dasar-dasar Islam ataupun akal budi yang sehat.4] Penulisnya
sangat berwenang melakukan itu karena ia hidup dalam kumparan masa tersebut.
Sehingga ia bukan hanya merekam sejarah, melainkan juga sang pelaku yang fasih
dengan kultur masyarakat Minang dan perubahannya pada zaman itu.5]
Sejak awal novel ini diterbitkan berpindah dari satu
penerbit ke penerbit lain. Mula-mula penerbit swasta, kemudian mulai tahun 1951
oleh Balai Pustaka. Lalu pada tahun 1961 oleh Penerbit Nusantara. Hingga tahun
1962 novel ini telah dicetak lebih dari 80 ribu eksemplar. Setelah itu
penerbitannya diambilalih oleh Bulan Bintang.6] Tidak hanya di Indonesia, Van
Der Wijck juga berkali-kali dicetak di Malaysia. Hingga kini novel ini terus
dicetak, bahkan tahun ini (2013) novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini
sedang dibuat film layar lebarnya.
Reaksi negatif dari sejumlah pembaca Muslim telah
muncul saat pertama novel ini diterbitkan. Mereka menolak membacanya dan
mengatakan bahwa seorang ulama tidak sepatutnya mengarang cerita tentang
percintaan. Dalam sebuah tulisan di Pedoman Masyarakat No. 4 1938, Hamka seolah
membela diri menyatakan bahwa tidak sedikit roman yang berpengaruh positif
terhadap pembacanya seperti roman tahun 1920-an dan 1930-an yang mengupas adat
kolot, pergaulan bebas, kawin paksa, poligami, dan bahaya pembedaan kelas.7]
Tidak berhenti di situ, Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck menghadapi batu sandungan lebih keras pada 1962, yakni 24 tahun sejak
pertama diterbitkan. Seorang penulis bernama Abdullah SP membuat esai berjudul
“Aku Mendakwa Hamka Plagiat” yang dimuat di Harian Bintang Timur 7 September
1962. Dalam esai itu ia menilai bahwa Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ialah
hasil jiplakan dari novel Magdalena karya sastrawan Mesir Mustafa Luthfi
Al-Manfaluthi yang juga hasil saduran dari novel Sous les Tilleuls karya pengarang
Prancis, Alphonse Karr.
Untuk membuktikan tuduhannya Abdullah SP membuat
perbandingan dengan metode “idea-script” dan “idea-sketch” yang menjajarkan dua
novel itu secara detail dalam bentuk tabel perbandingan. Metode perbandingan
semacam ini baru pertama dilakukan sepanjang sejarah sastra Indonesia. Dan dari
hasil perbandingan itu Abdullah SP menemukan banyak kemiripan, sehingga ia
menuduh Hamka sebagai plagiator. Karuan saja tuduhan itu memicu polemik,
lebih-lebih serangan terhadap Hamka tidak berhenti pada esai tersebut melainkan
berlanjut dengan dibuatnya kolom khusus di Harian Bintang Timur yang berjudul
“Varia Hamka” dalam lembaran kebudayaan Lentera yang diasuh oleh Pramoedya
Ananta Toer.
Kasus ini terus bergulir menjadi polemik lantaran muncul
pada era pertentangan ideologi yang cukup keras antara kubu seniman kiri Lekra
versus kubu Manifes Kebudayaan. Para sastrawan Manifes Kebudayaan membela Hamka
dari tuduhan para seniman Lekra. Kedudukan Hamka sebagai anggota Masyumi
(Majelis Syuro Muslimin Indonesia), partai yang dilarang oleh Presiden Soekarno
pada Agustus 1960, memperkeras polemik dan membawanya ke ranah politik—bukan
semata polemik sastra. Lekra banyak menentang agama. Oleh sebab itu, Hamka yang
merupakan ulama dianggap sebagai salah satu target penting.8] Kubu Abdullah SP
(yang konon adalah nama samaran dari Pramoedya Ananta Toer sendiri) berhadapan
dengan kubu HB Jassin bersama para sastrawan yang ikut membela Hamka yakni Anas
Makruf, Ali Audah, Wiratmo Soekito, Asrul Sani, Rusjdi, Umar Junus, Soewardi
Idris, dan lain-lain.
Serangan terhadap Hamka berlangsung berbulan-bulan
“dengan bahasa yang sangat kasar dan tak layak sama sekali dimuat dalam ruang
kebudayaan Lentera dan telah menjadi fitnah terhadap pribadi dan keluarga
sastrawan tersebut.”9] Dalam sebuah pembelaannya terhadap Hamka, HB Jassin
menulis bahwa Tenggelamnya Kapal Van der Wijck bukanlah karya plagiat.
Menurutnya, yang disebut plagiat adalah pengambilan karangan orang lain
sebagian atau seluruhnya dan membubuhkan nama sendiri seolah-olah kepunyaannya.
Di samping plagiat, ada saduran, yaitu karangan yang jalan ceritanya dan
bahan-bahannya diambil dari suatu karangan lain, misalnya cerita luar negeri
disesuaikan dengan alam sendiri (Indonesia) dengan mengubah nama-nama dan suasananya.
Saduran itu pun harus disebutkan nama pengarang aslinya. Selain “plagiat” dan
“saduran”, ada juga “pengaruh”, yakni hasil ciptaan pengarang sendiri mendapat
pengaruh pikiran atau filsafat pengarang lain, baik disengaja maupun tidak.
Menurut HB Jassin dalam pengantar buku Manfaluthi yang
kemudian diterjemahkan menjadi Magdalena (1963), memang antara dua novel itu
terdapat ada kemiripan plot, pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan yang
mengingatkan kepada Magdalena, tetapi ada pengungkapan sendiri, pengalaman
sendiri, permasalahan sendiri. Sekiranya ada niat pada Hamka untuk menyadur
Magdalena Manfaluthi, lanjutnya, maka kepandaian Hamka melukiskan lingkungan
masyarakat dan menggambarkan alam serta manusianya, kemahirannya melukiskan
seluk-beluk adat istiadat serta keahliannya membentangkan latar belakang
sejarah masyarakat Islam di Minangkabau, mengangkat ceritanya itu jadi ciptaan
Hamka sendiri.
Atas dasar itu, Jassin berpandangan bahwa karya Hamka
bukan plagiat atau jiplakan, karena Hamka tidak hanya menerjemahkan dan
membubuhkan nama sendiri dalam terjemahan itu, melainkan ia menciptakan karya
dengan seluruh kepribadiannya. Karena itu, “terlalu gegabah untuk menuduh Hamka
plagiat seperti meneriaki tukang copet di Senen.”
Bagaimana sikap Hamka sendiri atas kasus yang
menimpanya. Dalam majalah Gema Islam (1962) ia menulis: “Tjatji maki dan
sumpah-serapah terhadap diri saja dengan mengemukakan tuduhan bahwa buku
Tenggelamnja Kapal Van der Wijck jang saja karang 24 tahun jang lalu, adalah
sebuah plagiat, atau djiplakan, atau hasil tjurian atau sebuah skandal besar,
tidaklah akan dapat mentjapai maksud mereka untuk mendjatuhkan dan
menghantjurkan saja. Dengan memaki-maki dan menjerang demikian persoalan
belumlah selesai.”
Hamka akhirnya memang lebih banyak bersikap pasif. Ia
menyatakan bahwa kalau ada orang yang menunggu-nunggu dirinya membalas segala
serangan dan hinaan itu, maka mereka akan lelah menunggu karena ia tidak akan
membalas. Yang ia tunggu, ujarnya, adalah terbentuknya satu Panitia
Kesusastraan yang bersifat ilmiah, yang apabila Panitia tersebut memandang
perlu untuk menanyainya, maka ia akan bersedia memberikan keterangan.
Pada tanggal 19 November 1962, Bintang Timur memuat
pernyataan bahwa redaksi menerima larangan dari Peperda (Penguasa Perang Daerah)
agar persoalan Hamka tidak dimuat lagi di lembar kebudayaan Lentera. Namun
pro-kontra kasus itu sudah terlanjur membesar sehingga larangan dari Peperda
itu seolah dianggap sepi. Polemik terus bergulir selama kurang lebih 3 tahun,
sampai terjadinya peristiwa yang disebut G30S/PKI 1965 yang benar-benar
mengubur kasus tersebut.
Sisi lain yang menarik dari karya Hamka ialah
pelabelan sastra Islam padahal tidak satu pun ada petuah agama yang terkandung
di dalamnya (secara eksplisit). Baik di dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
maupun karya lainnya yang terkenal seperti Di Bawah Lindungah Kabah dan
Merantau Ke Deli, sastrawan kelahiran Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari
1908, ini sangat piawai menyisipkan nilai-nilai keislaman secara implisit.
Hal ini berbeda dengan para penulis karya islami yang
banyak bermunculan akhir-akhir ini yang sangat gamblang menggunakan
simbol-simbol Islam, bahkan mengutip ayat-ayat Quran atau hadis, sehingga karya
novel hampir menyerupai kitab fikih. Pada Hamka, penyebutan kata Islam bisa
dihitung dengan jari, alih-alih mengutip Quran. Hal ini menarik perhatian
kritikus sastra Jakob Soemardjo. Ia menilai bahwa Hamka lebih mengutamakan
substansi keislaman ketimbang pemaparan tentang hukum-hukum Islam secara
eksplisit. “Hamka memasukkan nilai-nilai agama secara universal, sehingga umat
di luar Islam juga tertarik untuk menikmatinya,” kata Guru Besar Sekolah Tinggi
Seni Indonesia (STSI) Bandung itu.10]
Mungkin
karena sifatnya yang tidak verbalistik itulah maka karya-karya Hamka menjadi
abadi. Sampai wafatnya pada 24 Juli 1981, Hamka akan terus dikenang sebagai
pengarang yang berdedikasi pada kesusastraan di tanah air. Kabar terakhir yang
menggembirakan ialah bahwa selain akan difilmkan, novel Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck juga sedang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan akan diterbitkan
di Mesir. Buku Hamka ini merupakan langkah awal penerjemahan buku-buku
Indonesia ke dalam bahasa Arab.11]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar