Jumat, 17 Januari 2014

Buya Hamka dan novel “Tenggelamnya kapal Vander Wijck”



Buya Hamka dan novel “Tenggelamnya kapal Vander Wijck”

ADA CERITA menarik dari Kutaraja (kini Banda Aceh). Setiap Rabu malam, orang-orang berkerumun di stasiun kereta menunggu kiriman majalah Pedoman Masjarakat yang terbit di Medan. Mereka bukan hanya agen penjual majalah itu, tapi juga ratusan pembaca yang tidak sabar ingin membaca kelanjutan kisah “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” yang dimuat di majalah itu secara bersambung pada 1938.1] Penulis cerita bersambung itu ialah Hamka, nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang juga pengasuh dan pendiri majalah mingguan Pedoman Masjarakat.
Hamka menuturkan bahwa ia mendapat banyak surat dari pembaca—atau tepatnya, penggemar—cerita Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Sebagian surat itu berisi pengungkapan kesan mereka setelah membaca kisah cinta tragis antara Zainuddin dan Hayati yang dikungkung adat dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. “Seakan-akan Tuan menceritakan nasibku sendiri,” tulis seorang pemuda dalam suratnya.2]
Berdasarkan masukan dari berbagai pihak, cerita bersambung itu akhirnya diterbitkan dalam bentuk novel dengan judul yang sama pada 1939. Hamka menulis novel itu berdasarkan kisah nyata tentang kapal Van Der Wijck yang berlayar dari pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, menuju Tanjung Priok, Jakarta, dan tenggelam di Laut Jawa, timur laut Semarang, pada 21 Oktober 1936. Peristiwa itu kemudian diabadikan dalam sebuah monumen bersejarah bernama Monumen Van Der Wijck yang dibangun pada tahun 1936 di Desa Brondong, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, sebagai tanda terima kasih masyarakat Belanda kepada para nelayan yang telah banyak membantu saat kapal itu tenggelam. Dan Hamka mengabadikannya dalam sebuah novel.
Walaupun peristiwa tenggelamnya kapal Van Der Wijck itu benar-benar terjadi, kisah yang ditulis Hamka dalam novel itu tentu saja fiksi belaka. Sebagaimana umumnya karya sastra yang baik dibangun di atas serpihan kejadian nyata, Hamka pun mengolah tragedi yang memilukan itu dalam kisah fiksi yang diberi badan peristiwa konkret dengan plot yang apik sehingga imajinasi pembacanya memiliki pijakan di dunia faktual. Karakter utamanya (Zainuddin, Hayati, dan Aziz) seolah pribadi-pribadi yang benar-benar hidup dan mewakili potret kaum muda pada masa itu ketika mereka berhadapan dengan arus perubahan sementara kakinya berpijak pada adat dan tradisi.
Kepiawaian Hamka dalam menyampaikan kritiknya atas tradisi boleh jadi melanjutkan kesuksesan pendahulunya Marah Rusli dalam roman Siti Nurbaya yang melegenda itu. Keduanya juga sama-sama berkisah tentang adat dan kawin paksa. Dan keduanya berujung kematian tokoh-tokoh utamanya. Bedanya, Siti Nurbaya menimbulkan dampak yang sangat kuat dan melintasi zaman karena ide ceritanya itu sendiri, sementara Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck melahirkan guncangan keras karena kontroversi yang menyertai ide cerita. Siti Nurbaya adalah kisah cinta di atas panggung tradisi. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck juga kisah cinta yang sama namun sekaligus kisah tentang kesusastraan di pentas pertarungan politik. Belum pernah ada perdebatan yang begitu keras tentang sebuah novel melebihi karya Hamka ini. Novel ini dituduh sebagai plagiat dari novel Majdulin karya Mustofa Lutfi al Manfaluti (sastrawan Mesir), yang merupakan saduran dari novel Sous les Tilleuls (‘Di Bawah Pohon Tilia’) karya Alphonse Karr (sastrawan Prancis).3]

Sebagaimana novel Siti Nurbaya, novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck juga berkisah tentang cinta yang tak sampai. Tokoh utamanya, Zainuddin, adalah anak dari Pendekar Sutan yang diasingkan ke Cilacap karena membunuh mamaknya dalam sebuah perselisihan harta warisan. Setelah bebas ia pergi ke Makassar dan di kota ini menikah dengan Daeng Habibah. Dari pernikahan inilah lahir Zainuddin. Setelah orangtuanya meninggal, Zainuddin pergi ke Batipuh, Padang Panjang, yang merupakan kampung halaman ayahnya. Sayangnya, di sana ia tidak diperlakukan dengan baik karena dianggap bukan anak Minang. Maklum walaupun ayahnya seorang Minang, ibunya orang Bugis sehingga putuslah pertalian darah menurut garis matrilinear yang bernasabkan kepada ibu.
Sungguhpun begitu Zainuddin menjalin cinta dengan Hayati, gadis Minang yang prihatin terhadap nasibnya dan sering mencurahkan kesedihan hatinya kepada Hayati. Sebagai gadis keturunan bangsawan, tentu saja keluarga Hayati mencegahnya berhubungan dengan Zainuddin yang bukan orang Minang dan tidak jelas pula masa depannya. Keluarga Hayati memilih Aziz yang asli Minang dan berasal dari keluarga terpandang. Hayati harus tunduk pada kesepakatan keluarga, walaupun hatinya condong pada Zainuddin.
Zainuddin menganggap Hayati telah berkhianat. Akhirnya dengan membawa perasaan luka ia pergi ke Jakarta, kemudian pindah ke Surabaya. Sementara itu Hayati dan Aziz yang telah menikah juga pergi ke Surabaya dan tinggal di sini karena alasan pekerjaan. Tanpa sengaja, dalam suatu acara keduanya bertemu dengan Zainuddin yang telah menjadi orang sukses. Sedangkan kehidupan ekonomi Aziz dan Hayati semakin lama semakin memburuk. Aziz jatuh miskin sampai-sampai ia dan istrinya harus menumpang di rumah Zainuddin. Tak tahan menahan penderitaan, Aziz akhirnya bunuh diri dan sebelumnya meninggalkan pesan agar Zainuddin menjaga Hayati.
Zainuddin yang pernah dikhianati merasa sulit untuk menerima kembali Hayati. Perasaan cinta yang masih menyala dicoba untuk dipadamkan. Bahkan ia meminta Hayati untuk kembali ke kampung halaman di Batipuh, walaupun wanita itu merajuknya: “Tidak Hayati ! kau mesti pulang kembali ke Padang! Biarkan saya dalam keadaan begini. Pulanglah ke Minangkabau! Janganlah hendak ditumpang hidup saya , orang tak tentu asal ….Negeri Minangkabau beradat !…..Besok hari senin, ada Kapal berangkat dari Surabaya ke Tanjung Periuk, akan terus ke Padang! Kau boleh menumpang dengan kapal itu, ke kampungmu”. (hal. 198)
Hayati pun pulang dengan menumpang kapal Van Der Wijck. Namun nasib malang menimpanya. Kapal yang ditumpanginya tenggelam di Laut Jawa. Zainuddin yang mendengar berita itu langsung menuju rumah sakit di Tuban. Sayang nyawa Hayati tidak dapat diselamatkan. Sejak peristiwa itu Zainuddin sering mengalami sakit sampai akhirnya meninggal dan dimakamkan di samping pusara Hayati.
Ujung cerita tragis tampaknya menjadi pilihan untuk menyampaikan pesan bahwa cinta yang merupakan pangkal kebahagiaan seseorang sering dikorbankan demi martabat keluarga atau keturunan. Novel ini ditulis sebagai kritik terhadap beberapa tradisi dalam adat Minang saat itu yang tidak sesuai dengan dasar-dasar Islam ataupun akal budi yang sehat.4] Penulisnya sangat berwenang melakukan itu karena ia hidup dalam kumparan masa tersebut. Sehingga ia bukan hanya merekam sejarah, melainkan juga sang pelaku yang fasih dengan kultur masyarakat Minang dan perubahannya pada zaman itu.5]
Sejak awal novel ini diterbitkan berpindah dari satu penerbit ke penerbit lain. Mula-mula penerbit swasta, kemudian mulai tahun 1951 oleh Balai Pustaka. Lalu pada tahun 1961 oleh Penerbit Nusantara. Hingga tahun 1962 novel ini telah dicetak lebih dari 80 ribu eksemplar. Setelah itu penerbitannya diambilalih oleh Bulan Bintang.6] Tidak hanya di Indonesia, Van Der Wijck juga berkali-kali dicetak di Malaysia. Hingga kini novel ini terus dicetak, bahkan tahun ini (2013) novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini sedang dibuat film layar lebarnya.
Reaksi negatif dari sejumlah pembaca Muslim telah muncul saat pertama novel ini diterbitkan. Mereka menolak membacanya dan mengatakan bahwa seorang ulama tidak sepatutnya mengarang cerita tentang percintaan. Dalam sebuah tulisan di Pedoman Masyarakat No. 4 1938, Hamka seolah membela diri menyatakan bahwa tidak sedikit roman yang berpengaruh positif terhadap pembacanya seperti roman tahun 1920-an dan 1930-an yang mengupas adat kolot, pergaulan bebas, kawin paksa, poligami, dan bahaya pembedaan kelas.7]
Tidak berhenti di situ, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck menghadapi batu sandungan lebih keras pada 1962, yakni 24 tahun sejak pertama diterbitkan. Seorang penulis bernama Abdullah SP membuat esai berjudul “Aku Mendakwa Hamka Plagiat” yang dimuat di Harian Bintang Timur 7 September 1962. Dalam esai itu ia menilai bahwa Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ialah hasil jiplakan dari novel Magdalena karya sastrawan Mesir Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi yang juga hasil saduran dari novel Sous les Tilleuls karya pengarang Prancis, Alphonse Karr.
Untuk membuktikan tuduhannya Abdullah SP membuat perbandingan dengan metode “idea-script” dan “idea-sketch” yang menjajarkan dua novel itu secara detail dalam bentuk tabel perbandingan. Metode perbandingan semacam ini baru pertama dilakukan sepanjang sejarah sastra Indonesia. Dan dari hasil perbandingan itu Abdullah SP menemukan banyak kemiripan, sehingga ia menuduh Hamka sebagai plagiator. Karuan saja tuduhan itu memicu polemik, lebih-lebih serangan terhadap Hamka tidak berhenti pada esai tersebut melainkan berlanjut dengan dibuatnya kolom khusus di Harian Bintang Timur yang berjudul “Varia Hamka” dalam lembaran kebudayaan Lentera yang diasuh oleh Pramoedya Ananta Toer.
Kasus ini terus bergulir menjadi polemik lantaran muncul pada era pertentangan ideologi yang cukup keras antara kubu seniman kiri Lekra versus kubu Manifes Kebudayaan. Para sastrawan Manifes Kebudayaan membela Hamka dari tuduhan para seniman Lekra. Kedudukan Hamka sebagai anggota Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), partai yang dilarang oleh Presiden Soekarno pada Agustus 1960, memperkeras polemik dan membawanya ke ranah politik—bukan semata polemik sastra. Lekra banyak menentang agama. Oleh sebab itu, Hamka yang merupakan ulama dianggap sebagai salah satu target penting.8] Kubu Abdullah SP (yang konon adalah nama samaran dari Pramoedya Ananta Toer sendiri) berhadapan dengan kubu HB Jassin bersama para sastrawan yang ikut membela Hamka yakni Anas Makruf, Ali Audah, Wiratmo Soekito, Asrul Sani, Rusjdi, Umar Junus, Soewardi Idris, dan lain-lain.
Serangan terhadap Hamka berlangsung berbulan-bulan “dengan bahasa yang sangat kasar dan tak layak sama sekali dimuat dalam ruang kebudayaan Lentera dan telah menjadi fitnah terhadap pribadi dan keluarga sastrawan tersebut.”9] Dalam sebuah pembelaannya terhadap Hamka, HB Jassin menulis bahwa Tenggelamnya Kapal Van der Wijck bukanlah karya plagiat. Menurutnya, yang disebut plagiat adalah pengambilan karangan orang lain sebagian atau seluruhnya dan membubuhkan nama sendiri seolah-olah kepunyaannya. Di samping plagiat, ada saduran, yaitu karangan yang jalan ceritanya dan bahan-bahannya diambil dari suatu karangan lain, misalnya cerita luar negeri disesuaikan dengan alam sendiri (Indonesia) dengan mengubah nama-nama dan suasananya. Saduran itu pun harus disebutkan nama pengarang aslinya. Selain “plagiat” dan “saduran”, ada juga “pengaruh”, yakni hasil ciptaan pengarang sendiri mendapat pengaruh pikiran atau filsafat pengarang lain, baik disengaja maupun tidak.
Menurut HB Jassin dalam pengantar buku Manfaluthi yang kemudian diterjemahkan menjadi Magdalena (1963), memang antara dua novel itu terdapat ada kemiripan plot, pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan yang mengingatkan kepada Magdalena, tetapi ada pengungkapan sendiri, pengalaman sendiri, permasalahan sendiri. Sekiranya ada niat pada Hamka untuk menyadur Magdalena Manfaluthi, lanjutnya, maka kepandaian Hamka melukiskan lingkungan masyarakat dan menggambarkan alam serta manusianya, kemahirannya melukiskan seluk-beluk adat istiadat serta keahliannya membentangkan latar belakang sejarah masyarakat Islam di Minangkabau, mengangkat ceritanya itu jadi ciptaan Hamka sendiri.
Atas dasar itu, Jassin berpandangan bahwa karya Hamka bukan plagiat atau jiplakan, karena Hamka tidak hanya menerjemahkan dan membubuhkan nama sendiri dalam terjemahan itu, melainkan ia menciptakan karya dengan seluruh kepribadiannya. Karena itu, “terlalu gegabah untuk menuduh Hamka plagiat seperti meneriaki tukang copet di Senen.”
Bagaimana sikap Hamka sendiri atas kasus yang menimpanya. Dalam majalah Gema Islam (1962) ia menulis: “Tjatji maki dan sumpah-serapah terhadap diri saja dengan mengemukakan tuduhan bahwa buku Tenggelamnja Kapal Van der Wijck jang saja karang 24 tahun jang lalu, adalah sebuah plagiat, atau djiplakan, atau hasil tjurian atau sebuah skandal besar, tidaklah akan dapat mentjapai maksud mereka untuk mendjatuhkan dan menghantjurkan saja. Dengan memaki-maki dan menjerang demikian persoalan belumlah selesai.”
Hamka akhirnya memang lebih banyak bersikap pasif. Ia menyatakan bahwa kalau ada orang yang menunggu-nunggu dirinya membalas segala serangan dan hinaan itu, maka mereka akan lelah menunggu karena ia tidak akan membalas. Yang ia tunggu, ujarnya, adalah terbentuknya satu Panitia Kesusastraan yang bersifat ilmiah, yang apabila Panitia tersebut memandang perlu untuk menanyainya, maka ia akan bersedia memberikan keterangan.
Pada tanggal 19 November 1962, Bintang Timur memuat pernyataan bahwa redaksi menerima larangan dari Peperda (Penguasa Perang Daerah) agar persoalan Hamka tidak dimuat lagi di lembar kebudayaan Lentera. Namun pro-kontra kasus itu sudah terlanjur membesar sehingga larangan dari Peperda itu seolah dianggap sepi. Polemik terus bergulir selama kurang lebih 3 tahun, sampai terjadinya peristiwa yang disebut G30S/PKI 1965 yang benar-benar mengubur kasus tersebut.
Sisi lain yang menarik dari karya Hamka ialah pelabelan sastra Islam padahal tidak satu pun ada petuah agama yang terkandung di dalamnya (secara eksplisit). Baik di dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck maupun karya lainnya yang terkenal seperti Di Bawah Lindungah Kabah dan Merantau Ke Deli, sastrawan kelahiran Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908, ini sangat piawai menyisipkan nilai-nilai keislaman secara implisit.
Hal ini berbeda dengan para penulis karya islami yang banyak bermunculan akhir-akhir ini yang sangat gamblang menggunakan simbol-simbol Islam, bahkan mengutip ayat-ayat Quran atau hadis, sehingga karya novel hampir menyerupai kitab fikih. Pada Hamka, penyebutan kata Islam bisa dihitung dengan jari, alih-alih mengutip Quran. Hal ini menarik perhatian kritikus sastra Jakob Soemardjo. Ia menilai bahwa Hamka lebih mengutamakan substansi keislaman ketimbang pemaparan tentang hukum-hukum Islam secara eksplisit. “Hamka memasukkan nilai-nilai agama secara universal, sehingga umat di luar Islam juga tertarik untuk menikmatinya,” kata Guru Besar Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung itu.10]
Mungkin karena sifatnya yang tidak verbalistik itulah maka karya-karya Hamka menjadi abadi. Sampai wafatnya pada 24 Juli 1981, Hamka akan terus dikenang sebagai pengarang yang berdedikasi pada kesusastraan di tanah air. Kabar terakhir yang menggembirakan ialah bahwa selain akan difilmkan, novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck juga sedang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan akan diterbitkan di Mesir. Buku Hamka ini merupakan langkah awal penerjemahan buku-buku Indonesia ke dalam bahasa Arab.11]